Sejarah Kerajaan Bontonompo dan Struktur Pemerintahannya

Bontonompo adalah sebuah kecamatan yang berada di dalam wilayah Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, dahulu Bontonompo merupakan sebuah Kerajaan yang berdaulat berdiri Sendiri dengan struktur pemerintahan yang kuat di zamannya.

info sejarah celebes
Bendera Panji Kalompoang Kerajaan Bontonompo (Djimaka, Gaukanga)

Kerajaan Bontonompo pertama kali di bentuk dan di perintah oleh seorang Raja yang bernama Karaeng Loe ri Katingang. Meskipun sebagai penguasa di Bontonompo, Karaeng Loe ri Katingang waktu itu bermukim di Sanrobone yaitu di sebuah kampung yang bernama Palambeyang.

Di Sanrobone, Karaeng Loe ri Katingang juga membuat 4 (empat) federasi kerajaan yang di dalamnya meliputi Panaikang, Pa’dinging, Lau, dan Pancabelong. Di mana ke 4 federasi itu Karaeng Loe ri Katingang kemudian menunjuk Dampang Pancabelong sebagai Kepala Federasi kerajaan, dan dari federasi inilah yang juga menjadi dasar cikal bakal dari berdirinya Kerajaan Sanrobone, sehingga Dampang Pancabelong waktu itu juga yang menjabat sebagai Raja Pertama di Sanrobone atas perintah dan restu Karaeng Loe ri Katingang.

Pada masa pemerintahan Karaeng Loe ri Katingang di Bontonompo, ia selalu bersikeras untuk bekerjasama dengan Gowa. Dimana pada saat itu Gowa adalah Kerajaan Besar yang banyak meliputi wilayah kekuasaan. Pertentangan nya dengan Gowa menimbulkan sebuah Perang antara Kerajaan-kerajaan di bawah naungan Karaeng Loe ri Katingang dengan Kerajaan Gowa yang waktu itu di Perintah oleh Raja Gowa Karaeng Tumapa’risi Kallonna.

Dari peperangan yang berlangsung lama itu, Karaeng Tumapa’risi Kallonna akhirnya mampu mengalahkan Karaeng Loe ri Katingang. Meskipun waktu itu Karaeng Loe ri Katingang telah kalah oleh Gowa, namun kerajaan-kerajaan yang di bentuk oleh Karaeng Loe ri Katingang tidak serta merta menyerahkan wilayah-wilayah mereka kepada Raja Gowa. Sehingga hal inilah yang membuat Karaeng Tumapa’risi Kallonna sebagai Sombaya ri Gowa menjadi kewalahan untuk mengambil wilayah-wilayah tersebut meskipun ia telah memenangkan pertempuran.

Dalam sebuah riwayat turun temurun di ceritakan, bahwa pada sekitar tahun 1520 sebelum benteng Somba Opu berdiri Sombaya ri Gowa Karaeng Tumapa’risi Kallonna kemudian mengawini dan memperistrikan seorang Perempuan Asli Bontonompo yang bermukim di wilayah Bontomate’ne. Perkawinannya tersebut membuahkan hasil perdamaian antara Bontonompo dan Gowa, sehingga saat itu Bontonompo kemudian masuk kedalam wilayah pemerintahan Kerajaan Gowa melalui Jalur perkawinan.

Status Kerajaan Bontonompo saat itu telah masuk kedalam wilayah Kerajaan Gowa, dan langsung di kepalai dan diatur oleh Karaeng Tumapa’risi Kallonna. Sombaya ri Gowa saaat itu tinggal di Bontonompo selama kurang lebih 3 (tiga) hari bersama Istrinya yang telah ia kawini untuk mengatur roda pemerintahan di Bontonompo.

Di Bontonompo, Karaeng Tumapa’risi Kallonna kemudian menunjuk Gallarrang Manuju (Takalar) yang pada waktu itu menjadi sekutu dari Kerajaan Gowa agar menjadi pengawas pemerintahan atas Bontonompo, sehingga Bontonompo saat itu pun kemudian masuk kedalam wilayah Pemerintahan Gallarrang Manuju. Setelah mengatur semuanya di Bontonompo, Sombaya pun kemudian kembali ke Istananya di Gowa.

Dari Hasil perkawinan Sombaya ri Gowa Karaeng Tumapa’risi Kallonna dengan Istrinya di Bontonompo kemudian melahirkan seorang anak laki-laki yang tidak di ketahui namanya, dan sampai umur dewasa ia di besarkan oleh ibunya tanpa campur tangan ayahnya (Sombaya). suatu waktu anak ini kemudian bertanya kepada ibunya perihal siapakah gerangan Ayahnya, ibunya pun menyampaikan bahwa Ayahnya menjabat sebagai Sombaya ri Gowa, maka anak ini pun menyiapkan persiapan untuk menemui Ayahnya di Gowa.

Di ceritakan, ketika anak ini sampai di pintu gerbang istana kerajaan Gowa, ia melihat keramaian di dalam lingkungan istana, karena saat itu sedang diadakan sebuah perayaan pertandingan ketangkasan A’raga (sejenis permainan Takraw) khusus bagi anak-anak bangsawan. Si Anak ini pun kemudian memaksa masuk kedalam istana karena ia merasa mampu dan mahir dalam A’raga, setelah di periksa dan di ijinkan oleh pengawal istana akhirnya ia pun masuk mengambil bagian dalam pertandingan A’raga tersebut.

Kemampuan dan kemahiran Anak ini dalam bermain A’raga ternyata di luar batas kemampuan anak-anak bangsawan yang hadir saat itu, ia pun kemudian di Lirik oleh Sombaya Karaeng Tumapa’risi Kallonna dan meminta pengawal nya agar memanggil anak tersebut. setelah tiba di hadapan paduka Sombaya ri Gowa, sombaya pun bertanya kepada anak itu tentang asal-usulnya.

Setelah sang Anak ini menceritakan bahwa Ibunya adalah Orang Bontonompo dan Ayahnya adalah Sombaya ri Gowa, sontak sang Paduka Sombaya ri Gowa pun Kaget dan mengingat kembali bahwa belasan tahun yang lalu ia pernah memiliki seorang Istri di Bontonompo. Sombaya kemudian memeluk dan merangkul anak itu dengan penuh haru, karena anak itu ternyata adalah Puteranya Sendiri.

Anak ini pun kemudian tinggal di dalam Istana Kerajaan Gowa, dan setelah beberapa hari tinggal di dalam Istana, sang Paduka Sombaya ri Gowa kemudian memberikan titah perintah kepada anaknya tersebut agar segera menuju ke tempat Arung Lemoape (Bone) untuk memperdalam ilmu kebatinan (kerohanian). Anak ini kemudian menerima titah dari Ayahnya, maka di siapkanlah semua keperluan anak Nya tersebut untuk segera berangkat menuju ke tempat Arung Lemoape di Bone.

Sesampainya di Bone, ia kemudian di terima oleh Arung Lemoape dan menetaplah anak tersebut disana untuk belajar memperdalam ilmu kebatinan (kerohanian). di dalam masa belajarnya, anak sombaya ini ternyata tertarik dan jatuh hati kepada seorang perempuan. Anak perempuan itu adalah kemanakan dari Arung Lemoape, ia adalah anak dari Arung Macege.

Karena anak Sombaya ini sudah dianggap mumpuni dalam menguasai ilmu kebatinan, maka Arung Lemoape kemudian Menikahkan Anak Sombaya ini dengan kemanakannya sendiri yaitu Puteri dari Arung Macege. Dan setelah menjalani perkawinan, putera sombaya dan puteri arung macege ini kemudian di karuniai 2 (dua) orang anak laki-laki yang Bernama Kare Maddatuang dan Kare Datulolo.

Setelah kedua Puteranya ini beranjak dewasa, mereka pun menanyakan tentang asal usulnya, maka di beritahulah oleh kedua orangtuanya bahwa Leluhurnya berasal dari Negeri Gowa dan Negeri Bontonompo. Tidak sampai disitu, kedua Puteranya ini ternyata memilki keinginan yang besar untuk mencari kampung para leluhurnya tersebut.

Karena keinginan Puteranya tersebut teramat besar untuk mengunjungi kampung leluhurnya, akhirnya kedua orang tuanya sepakat untuk mempersiapkan keperluan putera-puteranya tersebut untuk mencari kampung halaman para leluhurnya.

Sebelum keberangkatan menuju Gowa dan Bontonompo, di adakanlah sebuah upacara yang sakral di Bone untuk memberikan Do’a dan Harapan agar keselamatan senantiasa menyertai kedua puteranya ini. Saat itu kedua puteranya masing-masing di berikan Pusaka atau dalam tradisi di sebut dengan bahasa “Ni Pisalingi” (di berikan bekal Pusaka), maka Kare Maddatuang di berikan bekal Pusaka berupa sebuah Keris, dan Kare Datulolo di anugerahi Bendera (Panji) Pusaka Segi Empat yang di tengahnya bergambar dua bilah pedang bersilang dengan masing-masing sudut terdapat sebuah bintang daud yang di dalamnya bertuliskan nama Khulafaur Rasyidin (empat sahabat Rasulullah).

Kedua Puteranya ini kemudian berangkat dan meninggalkan kedua orang tuanya, mereka juga meninggalkan Kakeknya di Bone yaitu Arung Lemoape dan Arung Macege. Maka masuklah mereka berdua kedalam hutan belantara untuk mencari kampung halamannya di Gowa dan Bontonompo.

Di riwayatkan, ketika mereka berdua tiba di kawasan hutan Tompo’ Biring, mereka kemudian beristirahat karena kelelahan. Dan setelah beristirahat beberapa lama sang Adik (Kare Datulolo) sudah ingin  beranjak melanjutkan perjalanan, tetapi sang kakak (Kare Maddatuang) masih ingin beristirahat karena suasana saat itu sama seperti di Lemoape sehingga ia terlintas kerinduan akan kedua orang tuanya di Lemoape Bone. Maka berkatalah Kare Maddatuang kepada Adiknya (Kare Datulolo) “Berangkatlah Engkau duluan, nanti saya akan menyusul..” perkataan kakaknya itu membuat Kare Datulolo semakin bersemangat untuk melanjutkan perjalananan. Setelah Keduanya saling berpamitan, Kare Datulolo melanjutkan perjalanannya lebih dulu untuk mencari kampung halaman Leluhurnya.

Perjalanan Kare Datulolo ternyata berhasil memasuki Negeri Bontonompo, dengan suka cita ia di sambut oleh Rakyat setempat setelah menceritakan asal-usul nya. Saat itu pula Kare Datulolo kemudian di Nobatkan untuk menjadi Raja di Bontonompo, kemudian Panji Bendera Pusaka yang di bawa oleh Kare Datulolo kemudian menjadi Kebesaran (Kalompoang) Kerajaan Bontonompo.

Kakeknya yang masih menjabat sebagai Sombaya ri Gowa mendengar kedatangan Cucunya itu dari Lemoape, Ia kemudian memerintahkan Gallarrang Manuju untuk menyerahkan kembali Bontonompo kepada cucu nya yang bernama Kare Datulolo tersebut, Sehingga Bontonompo di kembalikan Kedaulatannya sebagai Kerajaan yang berdiri sendiri dengan status Bate Anak Karaeng.

Lain halnya dengan keadaan sang kakak, Kare Maddatuang tidak berhasil masuk menemukan jalan ke Negeri Bontonompo, Ia kemudian muncul dan tembus ke sebuah negeri yang bernama Pallangga. Kare Maddatuang juga menjadi seorang Pembesar di Pallangga ketika di ketahui bahwa ia merupakan Cucu dari Sombaya ri Gowa.

Kerajaan Bontonompo semakin makmur saat di perintah oleh Kare Datulolo, hampir tidak terjadi peperangan pada masa-masa itu karena sekeliling Bontonompo adalah negeri yang sudah menjadi satu dengan Kerajaan Gowa seperti pada wilayah Karaeng Sanrobone, Gallarrang Manuju, Karaeng Galesong, dan Karaeng ri Bajeng yang sama-sama mengelilingi Bontonompo dengan masing-masing pemerintahan yang makmur dan kuat. Dari masa ke masa, Bontonompo pun tiba pada generasi selanjutnya dari beberapa Pinangka’ (generasi) yaitu sampai kepada Cicit Kare DatuLolo yang bernama I Sa’be Daeng Lompo.

Keturunan Kare Datulolo yang bernama I Sa’be Daeng Lompo kemudian menikah dengan Kare Yuseng Daeng Mallingkai, Kare Yuseng adalah cicit (keturunan ke empat) dari I Mappaliku Daeng Saleko Karaeng Loe ri Malewang, di mana di ketahui bahwa Karaeng Loe ri Malewang merupakan rumpun pertalian darah dengan Karaeng Loe ri Katingang. Terlebih lagi karena Istri Kare Yuseng adalah keturunan langsung dari Sombaya ri Gowa Sehingga hal Kebangsawanan inilah yang kemudian membuat Kare Yuseng Daeng Mallingkai di Nobatkan untuk menjadi Raja di Bontonompo.

Dimasa Pemerintahan Kare Yuseng Daeng mallingkai Karaeng Bontonompo, segala struktur pemerintahan di susun dengan baik, Mulai dari perekonomian dan armada tempur kerajaan juga telah di persiapkan dengan matang. Hingga pada suatu waktu sekitar tahun 1868 hubungan antara Kerajaan Bontonompo dan Kerajaan Gowa terjadi sebuah perseteruan yang berujung pada Peperangan.

Hal ini di Picu karena perbuatan Sombaya ri Gowa waktu itu yang bernama I Kumala Karaeng Lembang Parang lebih mementingkan kerjasama dengan VOC Belanda dari pada kesejahteraan Rakyat Gowa, Kare Yuseng menganggap bahwa keluarganya di Gowa itu (Sombaya) sudah melenceng dari perjanjian Luhur para Raja-Raja sebelumnya. Dan Atas kejadian itu, Kare Yuseng Daeng Mallingkai Karaeng Bontonompo kemudian menghimpun para Gallarrang untuk memerangi keluarganya sendiri di Gowa yang terkenal dengan peristiwa Bunduka ri Mangasaya (Perang di Mangasa).

Di bawah naungan Panji Pusaka Bandera Gaukanga ri Bontonompo (Bendera kalompoang Kerajaan Bontonompo), Kare Yuseng Daeng mallingkai bersama para Gallarrang menyerang Gowa selama 40 hari. Dan peperangan pun itu berakhir ketika Somba I Kumala Karaeng Lembang Parang meminta bantuan militer kepada Belanda dan menargetkan pembunuhan kepada Kare Yuseng sebagai pelopor pemberontakan, Kare Yuseng pun di lumpuhkan oleh Belanda kemudian ia di tangkap dan di hukum pancung. Sehingga pemberontakan Kare Yuseng yang memimpin Para Gallarrang ini pun berakhir, dan Panji Kalompoang Bontonompo pun di sita oleh Sombaya ri Gowa.

Semenjak Gugurnya Kare Yuseng Daeng Mallingkai Karaeng Bontonompo, maka Gelar KARE ri BONTONOMPO di rubah oleh sombaya menjadi gelar ANRONG GURU BONTONOMPO, sebagai sebuah konsekuensi atas pemberontakan Bate Anak Karaeng terhadap keluarganya sendiri yang merupakan Somba ri Gowa.

Setelah beberapa waktu kosongnya pemerintahan di Bontonompo, Sombaya ri Gowa I Kumala Karaeng Lembang Parang kemudian memberikan Tugas kepada anaknya yang bernama I Mappatunru Karaengta ri Bura’ne untuk menjadi Anrong Guru Pertama di Bontonompo. Di masa ini keadaan Bontonompo semakin terpuruk, karena Anrongguru Mappatunru tidak terlalu memperhatikan kesejahteraan rakyat Bontonompo yang pada saat itu masih trauma akan kekalahan perang, terlebih lagi pada waktu itu Rakyat Bontonompo masih berduka cita atas gugurnya Kare Yuseng Daeng Mallingkai Raja Bontonompo yang mereka Cintai.

Berselang satu tahun kemudian, Sombaya ri Gowa kemudian menunjuk anak dari Kare Yuseng Daeng Mallingkai yang bernama I Poli Daeng Manyarrang untuk menjadi Anrongguru Bontonompo yang kedua. disaat inilah Bontonompo kembali bangkit, Anrongguru I Poli Karaeng Manyarrang mulai menyusun struktur pemerintahan di Bontonompo yang meliputi beberapa pembantu pemerintahan yang di beri nama Punggawa, Jannang dan Suro. Mereka diantaranya adalah : Punggawa Kalase’rena, Jannang Romanglasa, Jannang Taipa le’leng, Suro Bontosalang, dan Suro Tanetea.

Anrongguru I Poli Karaeng Manyarrang juga membentuk Suro Bontotangnga, Suro Darumung dan Suro Salekowa yang memiliki tugas untuk memimpin 163 kampung wajib pajak. begitupun Jannang Taipa Le’leng yang juga bertugas untuk memerintah kampung Taipa Le’leng, Kalumpang, Bontokadieng dan Kokoa.

Selain itu Anrongguru Poli Karaeng Manyarrang juga membentuk dan memerintah banyak Suro, Mereka diantaranya adalah : Suro Borongballa, Suro Bontocara’de, Suro Rappokaleleng, Suro Giring-giring, Suro ri Sela, Suro Tamallaeng, Suro Gangga, Suro Pamase, Suro Parang, Suro Bu’nea, Suro Katangka, Suro Cambajawaya, Suro Bontomate’ne, Suro Parannajang, Suro Bontotaratta’ dan Suro borongbo’dia.

Boleh di Katakan bahwa kekuasaan pemerintahan Anrongguru i Poli Karaeng Manyarrang di Bontonompo sangat terorganisir dan sangat Kuat, sehingga tidak jarang pada waktu itu Sombaya ri Gowa mengutus beberapa anak-anak bangsawan Gowa untuk belajar ilmu pemerintahan kepada Anrong Guru Bontonompo.

Anrong Guru Bontonompo dari masa ke masa kemudian silih berganti, Anrongguru I Poli Karaeng manyarrang di gantikan oleh anaknya yang bernama I Mannarai Karaeng Mangemba sebagai Anrongguru ke-3 Bontonompo, Anrongguru Mannarai di gantikan oleh sepupunya yang bernama I Saso Karaeng Manakku sebagai Anrongguru sementara karena saat itu Anrongguru Mannarai di nyatakan hilang secara misterius di sekitar Gantarang Matinggi saat menjalankan titah Sombaya untuk membuat tapal batas antara Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone.

Tidak berapa lama kemudian, Anrongguru sementara I Saso Karaeng Nakku di gantikan oleh I Manynyaurang Karaeng Sibali (kemanakan Anrongguru mannarai) sebagai Anrongguru ke-4 Bontonompo (1905-1911), disaat pemerintahan Anrong guru Manynyaurang inilah Bendera "Djimaka" Pataka Gaukang Kalompoang Bontonompo di kembalikan oleh Raja Gowa kepada Bontonompo.

Anrongguru manynyaurang di gantikan oleh sepupunya yang bernama I Mammuntuli Karaeng Rombo (anak dari anrongguru mannarai) sebagai Anrongguru ke-5 Bontonompo (1911-1927), Anrongguru Mammuntuli di gantikan oleh kemanakannya yang bernama I Mappase’leng Karaeng Sija (anak dari anrongguru manynyaurang) sebagai Anrongguru ke-6 Bontonompo (1927-1947).

Anrongguru Mappase’leng di gantikan oleh puteranya yang bernama I Mannangarri Karaeng Lassa’ sebagai Anrogguru ke-7 Bontonompo, Anrongguru Mannangarri di gantikan oleh keluarganya yang bernama I Sinring Karaeng Lira sebagai Anrongguru ke-8 Bontonompo, dan Anrongguru Sinring di gantikan oleh I Patarai Karaeng Ma’ruppa sebagai Anrongguru ke-9 (1961-1987) atau Anrongguru Terakhir Bontonompo dan sekaligus sebagai Lurah Pertama Bontonompo.

Demikianlah Sejarah Kerajaan Bontonompo di zamannya, begitu pula dengan keberadaan Pusaka Kalompoang Bandera Gaukang Panji Kerajaan Bontonompo yang masyarakat Bontonompo menyebutnya sebagai Sa’be Tamammalisi’na Bontonompo (Sutera yang tiada tandingannya) atau Djimaka, yang masih tersimpan dan terawat dengan baik di Bontonompo.

Baca juga :

Panji Bendera Pusaka (Djimaka) ini seringkali di Tampilkan oleh Rumpun Anrong Guru Bontonompo setiap tahunnya ketika jatuh pada bulan Dzulhijjah, Kegiatan ini merupakan rangkaian perayaan turun temurun bagi masyarakat Bontonompo yang sering kali di sebut sebagai acara “Accera’ Gaukanga ri Bontonompo” sebagai bentuk pelestarian akan nilai-nilai luhur adat dan Budaya khususnya di Kecamatan Bontonompo Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan.

0 Response to "Sejarah Kerajaan Bontonompo dan Struktur Pemerintahannya"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel