Sejarah Lengkap Karaeng Pattingalloang
Sebagai kerajaan (Gowa Tallo) dengan armada militer maritim yang sangat kuat dan menguasai jalur perdagangan di Nusantara, seorang Karaeng Pattingalloang menjadi Elit Ilmuawan Global adalah hal yang Wajar.
Elit Ilmuwan Global Abad Pertengahan Kecerdasan Pattingalloang dalam memahami dan fasih menggunakan berbagai bahasa asing seperti Portugis, Belanda, Inggris, Perancis, Arab, Melayu dan Jawa, serta bahasa lokal pada masa itu, seperti Bahasa Bugis dan Mandar, semakin meneguhkan dirinya sebagai tokoh multibahasa yang memberikannya ruang untuk mendalami berbagai bidang Sains dan Teknologi.
Kecintaan dan pemahamannya tentang teknik geodesi (ilmu-ilmu tentang pemetaaan dan kebumian), secara tidak langsung memperoleh pengakuan dari Parlemen Hindia Timur, Belanda yang mengirimkan globe yang diproduksi perusahaan milik keluarga Willem Joanszoon ke istananya. Seperti kesaksian Joost van den Vondel yang diungkapkan dalam salah satu syairnya “Bola dunia itu, dikirimkan oleh parlemen Hindia Timur, ke istana the Great Pattingalloang”.
Ilmu pemetaan merupakan salah satu cabang sains yang sangat prestisius pada masa abad pertengahan (Abad 16-17). Mengingat peta adalah dokumen yang sangat berharga di tengah tingginya aktivitas penjelajahan dan persaingan antarbangsa Eropa mencari daerah koloni baru, untuk meluaskan kekuasaan dan memonopoli jalur perdagangan hasil-hasil sumber daya alam di dunia.
Bahkan beberapa laporan menyebutkan, pada masa itu peta merupakan salah satu dokumen rahasia negara yang dianggap paling berharga, karena berisi informasi yang sangat dilindungi oleh masing-masing negara penjajah. Selain karena alasan proses pembuatannya yang sangat rumit dan mahal, melalui penjelajahan pelayaran, juga karena alasan kepentingan militer mereka.
Sampai saat ini pun peta yang berisi informasi detil tertentu, masih merupakan dokumen yang dikategorikan sebagai rahasia negara. Pada saat yang sama, seorang Karaeng Pattingalloang telah memiliki Globe (bola dunia) yang semacam peta atlas yang terbuat dari tembaga. Namun, terlepas dari kontroversi para peneliti sejarah tentang alasan bola dunia menjadi milik Pattingalloang, apakah sebagai hadiah atau melalui transaksi pemesanan atau pembelian biasa, faktanya, bola dunia tersebut di kirimkan ke istana Karaeng Pattingalloang di Somba Opu Kesaksian kepemilikan globe juga dinyatakan oleh seorang Portugis yang bernama Fernandes de Veira yang mengunjungi Gowa-Tallo pada tahun 1657 yakni tiga tahun setelah wafatnya Karaeng Pattingalloang.
Dia menceritakan pertemuannya dengan salah seorang anak Karaeng Pattingalloang yang bernama Karaeng Karunrung, yang menunjukkan kepadanya benda-benda peninggalan ayahnya. Diantaranya buku-buku, peta-peta, sebuah globe dan jam. Pada masa itu, semua benda itu termasuk jam merupakan benda yang dianggap memiliki teknologi canggih dan amat jarang di miliki oleh orang biasa, bahkan bangsawan sekalipun.
Di sisi lain, peta-peta tersebut milik Pattingalloang adalah karya orang Makassar yang diakui oleh orang Eropa yang pada tahun 1771 berhasil meng-compile (menggabungkan) peta-peta dari berbagai belahan dunia, yang sebagian berasal dari peta karya orang Bugis-Makassar, menjadi peta bumi pertama yang dianggap paling lengkap.
Hasil penelitian tentang Globe sebagai benda warisan dunia, menyimpulkan hingga saat ini tidak terdapat lagi Globe yang tersisa, kecuali kemunculan koleksi terbaru pada tahun 2012, dalam lelang di acara London Map Fair berjenis Ostrich Eggs Globe atau bola dunia yang berbentuk seperti telur unta. Penemuan ini mengkonfirmasi bahwa pada abad ke-16 memang pernah ada Globe yang diperkirakan diproduksi oleh Hunt-Lennox (dekade pertama abad ke-16) menggunakan teknologi pengecoran logam dengan tembaga sebagai bahan utamanya.
Astronom Makassar, Pemilik Teleskop Galileo
Sebagai pecinta astronomi, Pattingalloang pun menjadi seorang yang dianggap sangat penting dan pantas memiliki, teropong atau teleskop Galileo yang pada abad pertengahan menjadi salah satu benda yang juga dianggap memiliki teknologi tinggi (high tech). Galileo Galilei (1564-1642) yang dianggap bapak teleskop dan observasi astronomi modern adalah ilmuwan yang sangat terkenal yang hidupnya semasa dengan Pattingalloang (1600-1654).
Teleskop Galileo tersebut, adalah pengembangan dari teknologi teropong (berbasis material gelas: lensa dan cermin) yang telah ada sebelumnya, dan diperkirakan pertama ditemukan dan dikembangkan dari peradaban bangsa-bangsa kuno di Timur Tengah, di sekitar wilayah Yerussalem dan Mesir.
Sampai saat ini teleskop Galileo masih dianggap oleh ilmuwan dunia, sebagai salah satu penemuan yang paling revolusioner dalam sains terapan pada masanya. Kemampuan jarak jangkauan sehingga dapat melihat permukaan bulan dan penerapan perhitungan geometri dan matematika pada rancangan perangkat kerasnya (instrumentation), merupakan salah satu landasan ilmu pengetahuan dan teknologi pembuatan lensa dan teleskop astronomi di abad modern ini.
Teknologi tersebut berbasis pada ilmu matematika dan fisika terapan, yang meliputi aspek yang rumit meliputi perhitungan ilmu pasti yang presisi, ilmu material dan pengolahan glass untuk pembuatan lensa, pengecoran logam sebagai bahan casing lensa, hingga teknologi proses produksi dan perakitan atau assemblynya.
Dengan keterbatasan alat dan teknologi yang tersedia pada abad pertengahan, atau sekitar tahun 1600- an, maka bisa dipastikan pembuatan teleskop Galileo, masih dilakukan dengan teknik manual yang sangat rumit dan presisi. Sehingga hanya dapat dibuat oleh sejumlah ilmuwan yang sangat ahli di bidang sains terapan, yang masih langka pada masa itu. Selain itu jumlah produksinya tentulah sangat terbatas, karena proses pembuatannya hanya berskala laboratorium, melalui pengawasan dan pengujian para elit ilmuwan. Oleh karena itu, membutuhkan waktu yang sangat lama dan berbilang tahun untuk memproduksi sebuah teleskop Galileo.
Adalah pengakuan tersurat bila seseorang mendapatkan keistimewaan memperoleh teleskop yang merupakan benda canggih hasil karya seorang ilmuwan dunia sekaliber Galileo. Sehingga, secara tidak langsung telah menjelaskan sosok Pattingalloang yang sesungguhnya telah memiliki “kursi” kedudukan penting dalam “perhimpunan” para elit ilmuawan sains dan astronomi dunia pada abad pertengahan.
Dalam bidang astronomi, yang pada masa itu tentu masih relatif sedikit digeluti elit ilmuwan dunia, teleskop adalah benda yang paling penting bagi seorang astronom untuk melihat dan melakukan observasi yang lebih teliti pada benda-benda langit. Selain itu, penguasaan teknologi pembuatannya menjadi salah satu tolak ukur keunggulan negara pemiliknya di bidang pertahanan dan peralatan militer.
Cendekia yang Religius dan Pluralis
Selama menjabat sebagai Raja ke-8 Kerajaan Tallo dan Mangkubumi Kerajaan Gowa, pada masa prakolonial Makassar antara tahun 1639-1654, Pattingalloang menunjukkan kapasitasnya dalam menerapkan prinsip-prinsip pluralisme dalam menjalankan fungsi dalam menata kebijakan Pemerintah Kerajaan Islam Gowa-Tallo.
Rhodes, menceritakan Pattingalloang sangat sulit dipengaruhi agar mengubah keyakinan agamanya sebagai seorang muslim. Menurutnya, kepribadiannya yang bijak, peka dan jujur merupakan bagian dari penerapan ajaran agamanya. Kedudukannya sebagai bangsawan yang bersifat egaliter, ditunjukkan dalam salah satu wasiatnya bahwa salah satu penyebab kehancuran suatu bangsa, adalah jika pemimpin sudah tidak mencintai rakyatnya.
Selain itu, wasiat lainnya yang bermakna filosofis, adalah agar pejabat negara menghindari sikap yang “menonjolkan” hartanya, sehingga tidak timbul fitnah di tengah masyarakat. Dia mengandaikan apabila seorang pemimpin berjalan dan pulang dari pasar, hendaknya menyamarkan belanjaannya supaya tidak menimbulkan kecurigaan telah memperoleh “sogokan”, suap, atau gratifikasi dari orang di pasar.
Hal ini bisa ditafsirkan sebagai peringatan agar aparat pemerintah senantiasa menjaga perasaan dan hati rakyat, mencegah timbulnya kecemburuan sosial serta sekaligus menunjukkan standar nilai masyarakat pada masa itu yang menganggap sogokan dan pungutan liar sebagai hal yang hina dan pantas dicela.
Pengaruh dari ayahnya yang bernama Karaeng Matoaya terkesan sangat kental ketika Pattingalloang mendapat bimbingan dan nasehat dari ayahnya, sebagaimana tercatat dalam Lontara Patturiolonna Tallo yang berbunyi “Karaeng Matoaya pernah berkata kepada Tumenanga Ri Bonto Biraeng (Pattingalloang) bahwa ketika beliau mengalahkan persekutuan Tellupoccoe (Bone Soppeng Wajo), jangan merampas hartanya, daun kayunya pun tidak dipetiknya, bahkan beliaulah yang mebagi-bagikan kepada rakyat yang ditaklukkannya beberapa macam pakaian dan harta lainnya sebagai hadiah..”
Wasiat Pattingalloang dan Visi Masa Depan
Pesan dan nasehat Karaeng Pattingalloang yang tersebar di berbagai dokumen Lontara maupun kesaksian orang-orang Eropa, kemudian disebut dengan istilah wasiat Pattingalloang. Mengingat makna kata “pesan” telah terdegradasi menjadi semacam penyampaian berita. Padahal, konteks dan tujuan penulisan dan penyampaiannya, lebih mengena jika menggunakan istilah “wasiat” yang umum dipakai dalam tradisi Islam.
Mengkaji wasiat-wasiat Pattingalloang tentang sebab-sebab kehancuran suatu bangsa, akan menemukan dirinya yang visioner yang selalu melihat jauh ke depan. Semua tema-tema wasiatnya ternyata masih sangat relevan dan menjadi kajian menarik dalam isu-isu pengelolaan pemerintahan dan ketatanegaraan serta pembangunan bangsa.
Diantara wasiatnya adalah peringatan tentang sebab-sebab kehancuran suatu bangsa. Misalnya, tentang pejabat dan aparat negara tidak boleh menerima suap atau memamerkan kekayaannya, bilamana tingginya frekuensi terjadinya kasus-kasus atau peristiwa besar, sikap pemimpin yang tidak mau mendengar nasehat dan cenderung otoriter, minimnya jumlah para cendekiawan, hingga persoalan pengabaian terhadap kehidupan dan nasib rakyat. Kebutuhan terhadap model ketokohan yang inspiratif semakin mendesak, di tengah kondisi sosial, ekonomi dan politik bangsa yang tidak mendidik.
Ruang publik telah dipenuhi tontonan perilaku memalukan sebagian aparat birokrasi, pimpinan politik, pelaku ekonomi hingga akademisi. Mereka semakin sering memamerkan tindakan yang bernuansa koruptif dan kadang tanpa rasa penyesalan tampil di media menjadi pesakitan kasus korupsi. Salah satu peringatan dalam wasiat Pattingalloang yang menyatakan penyebab kehancuran suatu bangsa ketika tidak ada lagi tokoh cendekiawan. Yang menjadi penasehat sekaligus tauladan bagi bangsanya.
Lebih jauh, wasiat Pattingalloang juga menyebut tingginya frekuensi kejadian di suatu negara dapat menjadi penyebab kehancuran suatu bangsa. Yakni apabila dalam kehidupan suatu bangsa sering terjadi peristiwa-peristiwa atau kasus-kasus besar yang dianggap tanda-tanda berakhirnya zaman. Boleh jadi makna wasiat tersebut senada dengan apa yang banyak dikaji di abad modern sekarang tentang resiko ketidakstabilan di bidang sosial, politik atau ekonomi yang dialami suatu bangsa.
Karaeng Pattingalloang Sang Pembawa Buku
Karaeng Pattingalloang adalah tokoh yang senantiasa membawa buku “books of ours” ditangannya, ketika Rhodes (1647) menggambarkan kebiasaan sang tokoh. Berbeda dengan generasi muda kini, merebaknya media modern yang menggunakan jaringan internet sebagai salah satu media alternatif menggali ilmu pengetahuan dan teknologi, malah menjebak generasi muda berlama lama menggunakan dan berselancar dalam informasi. Kadangkala, malah semakin tenggelam pada perilaku tidak sehat memboroskan waktu dalam interaksi sosial yang virtual, melalui buku jejaring media sosial yang lebih mirip “junk book”.
Penyebaran nilai-nilai inspiratif dari seorang Pattingalloang, yang telah menjadi “Guru” bagi bangsanya di masa lampau, adalah kewajiban yang tidak mudah. Apalagi, kehadirannya dalam rentetan perjalanan sejarah yang tak sempat terekam dengan kamera. Bahkan tidak pernah ada lukisan dirinya terpajang dalam frame ilustrasi tokoh karya pelukis sekelas Raden Saleh, seperti ketika Raden Saleh mencoba mengunggah karya sketsa diri tokoh Diponegoro ke masa kini.
Pattingalloang adalah tokoh tanpa foto diri, namun sketsa dirinya sedang memegang jangka ukur ketika membuat bagian timur peta Atlas Maior, disandingkan sejajar dengan tokoh dunia bapak kartografi modern Gerardus Mercator di Bagian Barat dalam Atlas Maior yang sangat fenomenal bagi perkembangan ilmu kartografi.
Baca Juga :
Akhirnya, dengan sudut pandang dan gaya penulisannya yang istimewa, kisah ketokohan Pattingalloang dalam buku ini tentu sangat relevan bagi cita-cita membangun karakter generasi muda masa depan, di tengah kondisi kekinian Bangsa Indonesia yang sedang mengalami krisis ketokohan. Mengingat makin langkanya kecemerlangan yang berasal dari tokoh masa kini yang dapat dijadikan panutan dalam berbagai dimensi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.
Elit Ilmuwan Global Abad Pertengahan Kecerdasan Pattingalloang dalam memahami dan fasih menggunakan berbagai bahasa asing seperti Portugis, Belanda, Inggris, Perancis, Arab, Melayu dan Jawa, serta bahasa lokal pada masa itu, seperti Bahasa Bugis dan Mandar, semakin meneguhkan dirinya sebagai tokoh multibahasa yang memberikannya ruang untuk mendalami berbagai bidang Sains dan Teknologi.
Kecintaan dan pemahamannya tentang teknik geodesi (ilmu-ilmu tentang pemetaaan dan kebumian), secara tidak langsung memperoleh pengakuan dari Parlemen Hindia Timur, Belanda yang mengirimkan globe yang diproduksi perusahaan milik keluarga Willem Joanszoon ke istananya. Seperti kesaksian Joost van den Vondel yang diungkapkan dalam salah satu syairnya “Bola dunia itu, dikirimkan oleh parlemen Hindia Timur, ke istana the Great Pattingalloang”.
Ilmu pemetaan merupakan salah satu cabang sains yang sangat prestisius pada masa abad pertengahan (Abad 16-17). Mengingat peta adalah dokumen yang sangat berharga di tengah tingginya aktivitas penjelajahan dan persaingan antarbangsa Eropa mencari daerah koloni baru, untuk meluaskan kekuasaan dan memonopoli jalur perdagangan hasil-hasil sumber daya alam di dunia.
Bahkan beberapa laporan menyebutkan, pada masa itu peta merupakan salah satu dokumen rahasia negara yang dianggap paling berharga, karena berisi informasi yang sangat dilindungi oleh masing-masing negara penjajah. Selain karena alasan proses pembuatannya yang sangat rumit dan mahal, melalui penjelajahan pelayaran, juga karena alasan kepentingan militer mereka.
Sampai saat ini pun peta yang berisi informasi detil tertentu, masih merupakan dokumen yang dikategorikan sebagai rahasia negara. Pada saat yang sama, seorang Karaeng Pattingalloang telah memiliki Globe (bola dunia) yang semacam peta atlas yang terbuat dari tembaga. Namun, terlepas dari kontroversi para peneliti sejarah tentang alasan bola dunia menjadi milik Pattingalloang, apakah sebagai hadiah atau melalui transaksi pemesanan atau pembelian biasa, faktanya, bola dunia tersebut di kirimkan ke istana Karaeng Pattingalloang di Somba Opu Kesaksian kepemilikan globe juga dinyatakan oleh seorang Portugis yang bernama Fernandes de Veira yang mengunjungi Gowa-Tallo pada tahun 1657 yakni tiga tahun setelah wafatnya Karaeng Pattingalloang.
Dia menceritakan pertemuannya dengan salah seorang anak Karaeng Pattingalloang yang bernama Karaeng Karunrung, yang menunjukkan kepadanya benda-benda peninggalan ayahnya. Diantaranya buku-buku, peta-peta, sebuah globe dan jam. Pada masa itu, semua benda itu termasuk jam merupakan benda yang dianggap memiliki teknologi canggih dan amat jarang di miliki oleh orang biasa, bahkan bangsawan sekalipun.
Di sisi lain, peta-peta tersebut milik Pattingalloang adalah karya orang Makassar yang diakui oleh orang Eropa yang pada tahun 1771 berhasil meng-compile (menggabungkan) peta-peta dari berbagai belahan dunia, yang sebagian berasal dari peta karya orang Bugis-Makassar, menjadi peta bumi pertama yang dianggap paling lengkap.
Hasil penelitian tentang Globe sebagai benda warisan dunia, menyimpulkan hingga saat ini tidak terdapat lagi Globe yang tersisa, kecuali kemunculan koleksi terbaru pada tahun 2012, dalam lelang di acara London Map Fair berjenis Ostrich Eggs Globe atau bola dunia yang berbentuk seperti telur unta. Penemuan ini mengkonfirmasi bahwa pada abad ke-16 memang pernah ada Globe yang diperkirakan diproduksi oleh Hunt-Lennox (dekade pertama abad ke-16) menggunakan teknologi pengecoran logam dengan tembaga sebagai bahan utamanya.
Astronom Makassar, Pemilik Teleskop Galileo
Sebagai pecinta astronomi, Pattingalloang pun menjadi seorang yang dianggap sangat penting dan pantas memiliki, teropong atau teleskop Galileo yang pada abad pertengahan menjadi salah satu benda yang juga dianggap memiliki teknologi tinggi (high tech). Galileo Galilei (1564-1642) yang dianggap bapak teleskop dan observasi astronomi modern adalah ilmuwan yang sangat terkenal yang hidupnya semasa dengan Pattingalloang (1600-1654).
Teleskop Galileo tersebut, adalah pengembangan dari teknologi teropong (berbasis material gelas: lensa dan cermin) yang telah ada sebelumnya, dan diperkirakan pertama ditemukan dan dikembangkan dari peradaban bangsa-bangsa kuno di Timur Tengah, di sekitar wilayah Yerussalem dan Mesir.
Sampai saat ini teleskop Galileo masih dianggap oleh ilmuwan dunia, sebagai salah satu penemuan yang paling revolusioner dalam sains terapan pada masanya. Kemampuan jarak jangkauan sehingga dapat melihat permukaan bulan dan penerapan perhitungan geometri dan matematika pada rancangan perangkat kerasnya (instrumentation), merupakan salah satu landasan ilmu pengetahuan dan teknologi pembuatan lensa dan teleskop astronomi di abad modern ini.
Teknologi tersebut berbasis pada ilmu matematika dan fisika terapan, yang meliputi aspek yang rumit meliputi perhitungan ilmu pasti yang presisi, ilmu material dan pengolahan glass untuk pembuatan lensa, pengecoran logam sebagai bahan casing lensa, hingga teknologi proses produksi dan perakitan atau assemblynya.
Dengan keterbatasan alat dan teknologi yang tersedia pada abad pertengahan, atau sekitar tahun 1600- an, maka bisa dipastikan pembuatan teleskop Galileo, masih dilakukan dengan teknik manual yang sangat rumit dan presisi. Sehingga hanya dapat dibuat oleh sejumlah ilmuwan yang sangat ahli di bidang sains terapan, yang masih langka pada masa itu. Selain itu jumlah produksinya tentulah sangat terbatas, karena proses pembuatannya hanya berskala laboratorium, melalui pengawasan dan pengujian para elit ilmuwan. Oleh karena itu, membutuhkan waktu yang sangat lama dan berbilang tahun untuk memproduksi sebuah teleskop Galileo.
Adalah pengakuan tersurat bila seseorang mendapatkan keistimewaan memperoleh teleskop yang merupakan benda canggih hasil karya seorang ilmuwan dunia sekaliber Galileo. Sehingga, secara tidak langsung telah menjelaskan sosok Pattingalloang yang sesungguhnya telah memiliki “kursi” kedudukan penting dalam “perhimpunan” para elit ilmuawan sains dan astronomi dunia pada abad pertengahan.
Dalam bidang astronomi, yang pada masa itu tentu masih relatif sedikit digeluti elit ilmuwan dunia, teleskop adalah benda yang paling penting bagi seorang astronom untuk melihat dan melakukan observasi yang lebih teliti pada benda-benda langit. Selain itu, penguasaan teknologi pembuatannya menjadi salah satu tolak ukur keunggulan negara pemiliknya di bidang pertahanan dan peralatan militer.
Cendekia yang Religius dan Pluralis
Selama menjabat sebagai Raja ke-8 Kerajaan Tallo dan Mangkubumi Kerajaan Gowa, pada masa prakolonial Makassar antara tahun 1639-1654, Pattingalloang menunjukkan kapasitasnya dalam menerapkan prinsip-prinsip pluralisme dalam menjalankan fungsi dalam menata kebijakan Pemerintah Kerajaan Islam Gowa-Tallo.
Rhodes, menceritakan Pattingalloang sangat sulit dipengaruhi agar mengubah keyakinan agamanya sebagai seorang muslim. Menurutnya, kepribadiannya yang bijak, peka dan jujur merupakan bagian dari penerapan ajaran agamanya. Kedudukannya sebagai bangsawan yang bersifat egaliter, ditunjukkan dalam salah satu wasiatnya bahwa salah satu penyebab kehancuran suatu bangsa, adalah jika pemimpin sudah tidak mencintai rakyatnya.
Selain itu, wasiat lainnya yang bermakna filosofis, adalah agar pejabat negara menghindari sikap yang “menonjolkan” hartanya, sehingga tidak timbul fitnah di tengah masyarakat. Dia mengandaikan apabila seorang pemimpin berjalan dan pulang dari pasar, hendaknya menyamarkan belanjaannya supaya tidak menimbulkan kecurigaan telah memperoleh “sogokan”, suap, atau gratifikasi dari orang di pasar.
Hal ini bisa ditafsirkan sebagai peringatan agar aparat pemerintah senantiasa menjaga perasaan dan hati rakyat, mencegah timbulnya kecemburuan sosial serta sekaligus menunjukkan standar nilai masyarakat pada masa itu yang menganggap sogokan dan pungutan liar sebagai hal yang hina dan pantas dicela.
Pengaruh dari ayahnya yang bernama Karaeng Matoaya terkesan sangat kental ketika Pattingalloang mendapat bimbingan dan nasehat dari ayahnya, sebagaimana tercatat dalam Lontara Patturiolonna Tallo yang berbunyi “Karaeng Matoaya pernah berkata kepada Tumenanga Ri Bonto Biraeng (Pattingalloang) bahwa ketika beliau mengalahkan persekutuan Tellupoccoe (Bone Soppeng Wajo), jangan merampas hartanya, daun kayunya pun tidak dipetiknya, bahkan beliaulah yang mebagi-bagikan kepada rakyat yang ditaklukkannya beberapa macam pakaian dan harta lainnya sebagai hadiah..”
Wasiat Pattingalloang dan Visi Masa Depan
Pesan dan nasehat Karaeng Pattingalloang yang tersebar di berbagai dokumen Lontara maupun kesaksian orang-orang Eropa, kemudian disebut dengan istilah wasiat Pattingalloang. Mengingat makna kata “pesan” telah terdegradasi menjadi semacam penyampaian berita. Padahal, konteks dan tujuan penulisan dan penyampaiannya, lebih mengena jika menggunakan istilah “wasiat” yang umum dipakai dalam tradisi Islam.
Mengkaji wasiat-wasiat Pattingalloang tentang sebab-sebab kehancuran suatu bangsa, akan menemukan dirinya yang visioner yang selalu melihat jauh ke depan. Semua tema-tema wasiatnya ternyata masih sangat relevan dan menjadi kajian menarik dalam isu-isu pengelolaan pemerintahan dan ketatanegaraan serta pembangunan bangsa.
Diantara wasiatnya adalah peringatan tentang sebab-sebab kehancuran suatu bangsa. Misalnya, tentang pejabat dan aparat negara tidak boleh menerima suap atau memamerkan kekayaannya, bilamana tingginya frekuensi terjadinya kasus-kasus atau peristiwa besar, sikap pemimpin yang tidak mau mendengar nasehat dan cenderung otoriter, minimnya jumlah para cendekiawan, hingga persoalan pengabaian terhadap kehidupan dan nasib rakyat. Kebutuhan terhadap model ketokohan yang inspiratif semakin mendesak, di tengah kondisi sosial, ekonomi dan politik bangsa yang tidak mendidik.
Ruang publik telah dipenuhi tontonan perilaku memalukan sebagian aparat birokrasi, pimpinan politik, pelaku ekonomi hingga akademisi. Mereka semakin sering memamerkan tindakan yang bernuansa koruptif dan kadang tanpa rasa penyesalan tampil di media menjadi pesakitan kasus korupsi. Salah satu peringatan dalam wasiat Pattingalloang yang menyatakan penyebab kehancuran suatu bangsa ketika tidak ada lagi tokoh cendekiawan. Yang menjadi penasehat sekaligus tauladan bagi bangsanya.
Lebih jauh, wasiat Pattingalloang juga menyebut tingginya frekuensi kejadian di suatu negara dapat menjadi penyebab kehancuran suatu bangsa. Yakni apabila dalam kehidupan suatu bangsa sering terjadi peristiwa-peristiwa atau kasus-kasus besar yang dianggap tanda-tanda berakhirnya zaman. Boleh jadi makna wasiat tersebut senada dengan apa yang banyak dikaji di abad modern sekarang tentang resiko ketidakstabilan di bidang sosial, politik atau ekonomi yang dialami suatu bangsa.
Karaeng Pattingalloang Sang Pembawa Buku
Karaeng Pattingalloang adalah tokoh yang senantiasa membawa buku “books of ours” ditangannya, ketika Rhodes (1647) menggambarkan kebiasaan sang tokoh. Berbeda dengan generasi muda kini, merebaknya media modern yang menggunakan jaringan internet sebagai salah satu media alternatif menggali ilmu pengetahuan dan teknologi, malah menjebak generasi muda berlama lama menggunakan dan berselancar dalam informasi. Kadangkala, malah semakin tenggelam pada perilaku tidak sehat memboroskan waktu dalam interaksi sosial yang virtual, melalui buku jejaring media sosial yang lebih mirip “junk book”.
Penyebaran nilai-nilai inspiratif dari seorang Pattingalloang, yang telah menjadi “Guru” bagi bangsanya di masa lampau, adalah kewajiban yang tidak mudah. Apalagi, kehadirannya dalam rentetan perjalanan sejarah yang tak sempat terekam dengan kamera. Bahkan tidak pernah ada lukisan dirinya terpajang dalam frame ilustrasi tokoh karya pelukis sekelas Raden Saleh, seperti ketika Raden Saleh mencoba mengunggah karya sketsa diri tokoh Diponegoro ke masa kini.
Pattingalloang adalah tokoh tanpa foto diri, namun sketsa dirinya sedang memegang jangka ukur ketika membuat bagian timur peta Atlas Maior, disandingkan sejajar dengan tokoh dunia bapak kartografi modern Gerardus Mercator di Bagian Barat dalam Atlas Maior yang sangat fenomenal bagi perkembangan ilmu kartografi.
Baca Juga :
- Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Gowa
- Atau lihat semua Artikel di Daftar Isi
Akhirnya, dengan sudut pandang dan gaya penulisannya yang istimewa, kisah ketokohan Pattingalloang dalam buku ini tentu sangat relevan bagi cita-cita membangun karakter generasi muda masa depan, di tengah kondisi kekinian Bangsa Indonesia yang sedang mengalami krisis ketokohan. Mengingat makin langkanya kecemerlangan yang berasal dari tokoh masa kini yang dapat dijadikan panutan dalam berbagai dimensi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.
0 Response to "Sejarah Lengkap Karaeng Pattingalloang"
Post a Comment