Sejarah Perang Gowa tahun 1905-1906
Peristiwa Bunduka Ri Gowa atau “Perang Gowa” yang terjadi pada tahun 1905 sampai 1906 adalah sebuah peristiwa bangkitnya kembali semangat patriotisme yang dipimpin oleh Raja Gowa ke-34, Pada saat itu Raja dan Kerajaan masih berada dalam status Leenvorst dan Leenstaat, artinya segala kehidupan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan dalam seluruh element Kerajaan Gowa sepenuhnya berada dalam peraturan kekuasaan belanda. Raja Gowa yang menjabat pada waktu itu yakni Sombaya Ri Gowa ke-34, I MAKKULAU DAENG SERANG KARAENG LEMBANG PARANG yang bergelar SULTAN HUSAIN TUMINANGA RI BUNDU’NA. Rakyat Gowa sering menyebut Sombaya Ilanga Ri Lampanna (Yang lenyap dalam perjalanannya).
Raja Gowa ke-34 mempunyai 2 orang putera yakni, I PANGURISANG ARUNG ALITTA yang gugur dalam perang tersebut Serta I MAPPANYUKKI SULTAN IBRAHIM DATU SUPPA (yang kemudian menjadi Raja Bone terakhir dan menyandang Pahlawan Nasional), Pemberontakan yang disebut sebagai Perang Gowa ini ikut aktif saudara-saudara Raja Gowa diantaranya adalah I MANGIMANGI DAENG MATUTU KARAENG BONTONOMPO yang kena tembak dibagian kaki mengakibatkan beliau tertawan dan diasingkan ke Selayar (yang kemudian dilantik sebagai Raja Gowa ke 35), I BATARI TOJA ARUNG BARRU adik perempuan yang ditawan dan dibawa ke Makassar dengan pengawalan ketat, dan I BUNTA KARAENG MANDALLE yang juga ikut ditawan.
Foto : I Makkulau Daeng Serang Krg Lembang Parang |
Sejak I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembang Parang di lantik menjadi Raja Gowa ke-34 (Leenvorst) oleh Belanda pada tanggal 28 September 1895, Kerajaan Gowa (Leenstaat) berada dalam keadaan yang sangat kritis, Karena semua Perjanjian yang di buat oleh belanda dipaksa untuk di tandatangani oleh Raja, tentunya hal ini bertujuan untuk memeras dan memperbudak Rakyat Gowa. Dalam keadaan yang seperti itu Raja Gowa dan Bate Salapang merasa bahwa jalan satu-satunya untuk mengatasi keadaan itu ialah menghimpun kekuatan dan mengajak seluruh Kerajaan-kerajaan Bugis dan Mandar terutama Kerajaan Bone untuk bertindak melawan belanda, Karena kesemua kerajaan ini pada dasarnya juga memiliki hubungan darah yang sangat erat dengan Raja Gowa.
Belanda yang sudah menaruh curiga akan keadaan pada waktu itu ternyata telah mempersiapkan rencana Raja Gowa ke-34 tersebut. Belanda menganalisa bahwa selain Raja Bone ke-28 yakni LA PAWAWOI KARAENG SEGERI Tumenanga Ri Bandung masih mempunyai hubungan darah dengan Gowa yang perlu diperhitungkan, juga persenjataan perangnya kala itu juga sudah tergolong lengkap. Oleh karena itu Kerajaan Bone harus diserang terlebih dahulu agar Gowa dan Bone tidak bersatu melawan Belanda, dan Sesudah Bone runtuh barulah belanda menyerang Gowa.
Antisipasi Belanda memang tepat, Kerajaan Bone porak poranda yang di kenal dengan peristiwa Rumpa’na Bone dan akibatnya Raja Bone ke-28 Lapawawoi Karaeng Segeri tertangkap dan diasingkan ke Bandung Jawa Barat, Kemudian selanjutnya Gowa pun diserang dari segala penjuru. Raja Gowa ke-34 yang sekalipun selalu lolos dalam kepungan tentara Belanda namun tak berdaya karena mengingat persenjataannya tidak seimbang dengan kepunyaan Belanda. Akhirnya pada saat perburuan itu Raja Gowa terdesak dan yang tersisa hanya pengawalnya saja, dan di sebuah puncak bukit di wilayah desa Walue daerah Sidenreng di situ beliau terjatuh ke dalam jurang yang dalam dikala malam gelap gulita, Beliau gugur sebagai pahlawan yang mempertahankan negerinya dari cengkraman penjajah.
Dengan gugurnya Sombaya Ri Gowa I Makkulau Daeng Serang Krg Lembang Parang, maka Kerajaan Gowa di hapus dari Leenstaat dan Belanda langsung memerintah Gowa sebagai daerah jajahan. Sejak saat itu tidak ada lagi berkibar Bendera Kerajaan yang berwarna Merah Putih yang dihiasi dengan Bulan Sabit dan Dedaunan serta Burung-burung, dan diganti dengan Bendera Belanda yang berwarna Merah Putih Biru.
Saat itu kurang lebih 30 tahun Gowa tidak memiliki Raja dalam Pemerintahan. Ketika pergerakan nasional yang terjadi hampir serentak di tanah air, maka perubahan politik pun terjadi di Negeri Belanda. Maka untuk menghalangi lajunya kemajuan Pergerakan Nasional, Gowa dikembalikan sebagai suatu daerah berpemerintahan sendiri pada tahun 1930 tetapi masih dalam bentuk daerah jajahan. Atas Perubahan politik itu dan kehendak Ade’pitue di Bone, maka bulan April 1931 dilantiklah ANDI MAPPANYUKKI DATU SUPPA dengan gelar SULTAN IBRAHIM (Putera I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembang Parang Sultan Husain) menjadi Raja Bone dengan menandatangani perjanjian. lima tahun kemudian yaitu tahun 1936 Gowa pun direhabiliter, dan melantik I MANGIMANGI DAENG MATUTU KARAENG BONTONOMPO dengan gelar SULTAN MUH. THAHIR MUHIBUDDIN sebagai Raja Gowa ke-35. meskipun Keduanya adalah bekas musuh Belanda yang juga pernah ikut ditawan dalam perang Gowa 1905-1906.
Baca Juga :
- Sejarah Perjuangan La Pawawoi Karaeng Sigeri Raja Bone Ke 31
- Atau lihat semua Artikel di Daftar Isi
Bila disimak dengan cermat kisah sejarah perlawanan Gowa terhadap Belanda yang di mulai pada tahun 1905, maka kita akan menjumpai beberapa nama-nama pelaku yang dengan jiwa dan semangat patriotik nya bersedia dan ikhlas berkorban untuk membela kemerdekaan tanah airnya yang dirampas oleh penjajah. Dan berikut ini adalah Anak dan Cucu I Makkulau Daeng Serang Krg Lembang Parang yang juga berjuang dalam merintis Kemerdekaan Republik Indonesia :
- Andi Mappanyukki Datu Suppa (Anak / Pahlawan Nasional)
- Andi Pangurisang Arung Alitta (Anak / Gugur dalam perang 1905-1906)
- Andi Haji Daeng (Anak / Gugur dalam perang 1905-1906)
- Andi Pangerang Petta Rani (Cucu / Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
- Andi Abdullah Bau Massepe (Cucu / Gugur dalam perang 1947 / Pahlawan Nasional)
- Andi Muh.Thahir Karaeng Tompo (Cucu / Gugur dalam perang 1947).
mohon maaf sebelumnya bagi penulis saya ingin di jelaskan tentang kata pangurisang yg ada pada tulisan diatas
ReplyDelete